Oleh: Safuadi Harun
Pemerhati Ekonomi dan Pembangunan Aceh
Bencana kembali menyelimuti Aceh. Hujan ekstrem, banjir bandang, dan siklon yang menyapu 18 kabupaten/kota menambah panjang daftar duka di tanah ini. Di berbagai desa terlihat bendera putih berkibar bukan sebagai simbol menyerah, melainkan penanda bahwa masyarakat sedang memanggil empati dunia.
Fenomena ini dapat dibaca melalui teori psikologi sosial klasik: Frustration–Aggression Theory, sebagaimana dikemukakan oleh John Dollard, Neal Miller, Leonard Doob, O.H. Mowrer, dan Robert Sears dalam buku “Frustration and Aggression” (1939). Teori ini menjelaskan hubungan kausal antara hambatan tujuan, frustrasi emosional, dan munculnya agresi.
Menurut teori tersebut, ketika individu atau kelompok terhalang mencapai tujuan hidupnya seperti bekerja, bertani, menempati rumah, bersekolah maka muncullah frustrasi. Frustrasi memicu ketegangan psikologis yang mendorong individu merespons dalam bentuk agresi untuk mereduksi tekanan tersebut.
Dalam konteks Aceh, bencana berulang menghadang tujuan-tujuan dasar itu. Rumah hanyut, ladang hilang, jalan terputus, dan masa depan menjadi kabur. Ini bukan sekadar kerugian fisik, ia merusak rasa kendali atas hidup. Hambatan berulang ini membentuk frustrasi sosial kolektif.
Namun menurut Dollard dkk, agresi tidak selalu muncul dalam bentuk kekerasan fisik. Ia bisa berubah menjadi agresi teralihkan atau bahkan sublimasi simbolik melalui norma budaya dan religius. Nilai‐nilai gotong royong, kesalehan kolektif, dan memori emosional tsunami 2004 menjadi penyangga sosial yang menghalangi ledakan agresi destruktif di Aceh.
Karena kanal kekerasan dibendung norma, energi emosional mencari ekspresi lain. Di sinilah bendera putih Aceh menemukan maknanya sebagai kanal agresi yang disublimkan menjadi seruan moral. Bendera putih itu bukan lambang pasrah, tetapi pesan psikososial: “Kami mencapai batas daya. Kami memilih damai. Tetapi dunia, lihatlah kami.”
Bendera putih menjadi simbol frustrasi kolektif yang menolak berubah menjadi kekerasan. Alih-alih merusak, masyarakat Aceh memilih menyalurkan ketegangan emosional melalui tanda visual yang memanggil perhatian dan empati. Ini adalah bentuk agresi pasif yang diarahkan keluar, dengan harapan dunia menatap melalui mata nurani.
Teori Frustrasi–Agresi membantu kita memahami bahwa bencana bukan hanya peristiwa alam. Ia menciptakan hambatan struktural yang menghasilkan frustrasi sosial. Jika frustrasi ini tak mendapat respons atau ruang pemulihan, ia berpotensi bermuara pada agresi destruktif. Kanal simbolik seperti bendera putih merupakan mekanisme sosial untuk meredam potensi itu.
Karena itu, saat masyarakat mengangkat bendera putih di tengah banjir dan longsor, dunia harus membaca pesan psikologis kolektif ini. Bahwa ketahanan sosial mereka luar biasa, tetapi tidak tanpa batas. Bahwa energi frustrasi itu harus dijawab bukan hanya dengan simpati, tetapi dengan tindakan nyata dan sistem dukungan yang berkeadilan.
Aceh kini berdiri di titik kritis: antara ketabahan dan keputusasaan. Bendera putih adalah seruan terakhir agar dunia hadir sebelum frustrasi itu berubah bentuk. Kita berharap, sebagaimana dicatat Dollard dan koleganya pada 1939, agresi tidak jatuh pada bentuk destruktif, tetapi dialihkan menjadi solidaritas, empati, dan percepatan bantuan kemanusiaan.
Namun pertanyaan yang mengemuka kini adalah: sampai kapan Aceh mampu bertahan dalam situasi sulit yang berulang ini? Ketangguhan sosial masyarakat Aceh memang kuat, tetapi daya tahan psikologis memiliki batas. Ketika bencana berulang menghancurkan sumber penghidupan, menunda pemulihan ekonomi, dan mengguncang rasa aman, frustrasi kolektif perlahan menumpuk. Jika kanal simbolik seperti bendera putih tidak direspons dengan tindakan cepat dan nyata, tanda itu dapat berubah makna; dari seruan empati menjadi gejala keputusasaan. Inilah saatnya negara, pemerintah daerah, dunia usaha, civil society, dan komunitas global memahami bahwa resiliensi masyarakat tidak boleh dianggap taken for granted.
Karena itu, perlu atensi penuh dan terkoordinasi dari semua pihak agar suasana frustrasi ini tidak terdorong ke arah agresi destruktif. Pemerintah harus memastikan langkah rekonstruksi dan rehabilitasi secepatnya. Media perlu menjaga sensitivitas narasi. Akademisi dan lembaga sosial harus menguatkan dukungan psikososial, bukan sekadar bantuan fisik. Bencana alam memang tidak dapat dicegah, namun frustrasi sosial dapat dikelola. Dengan membaca bendera putih sebagai sinyal awal tekanan kolektif, bukan sekadar simbol keputusasaan, para pemangku kepentingan dapat bertindak sebelum energi frustrasi itu mencari jalan agresi yang lebih keras. Aceh bukan hanya memerlukan empati, tetapi kepemimpinan kolaboratif untuk mencegah tragedi sosial susulan. Bendera putih bukan tanda menyerah. Ia adalah tanda kehidupan dan harapan.[]




















