Oleh: Safuadi, ST., M.Sc., Ph.D.
Pemerhati Pembangunan dan Ekonomi Aceh
Musibah banjir besar yang melanda Aceh kembali mengingatkan kita bahwa negeri ini berada di etalase bencana. Sejarah panjang tsunami 2004, gempa, banjir bandang, abrasi, dan kini dampak siklon menunjukkan bahwa risiko alam adalah bagian permanen dari kehidupan sosial Aceh. Namun sejarah juga menunjukkan bahwa setiap fase kehancuran selalu melahirkan peluang kebangkitan.
Hari ini, Aceh berada di titik kritis itu: antara bahaya stagnasi dan peluang kemajuan. Pemerintah telah menyiapkan dana rehabilitasi dan rekonstruksi Sumatera sebesar Rp60 triliun, dan Aceh menjadi penerima salah satu porsi terbesar sekitar Rp25,41 triliun. Angka ini bukan sekadar dana pemulihan fisik, tetapi kesempatan langka untuk melakukan restrukturisasi ekonomi, model bisnis baru, dan transformasi sosial secara mendasar.
Kita belajar dari satu pesan Alquran dalam surat Al-Insyirah: “Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan” Maka, krisis banjir hari ini bisa menjadi jembatan bagi Aceh untuk rebound bangkit melampaui kondisi sebelum bencana.
Pasca Bencana sebagai Momentum Re-Start Ekonomi Aceh
Bencana sering dipahami sebagai tragedi semata. Padahal penelitian pembangunan menunjukkan bahwa negara dan daerah yang berhasil, justru memanfaatkan krisis sebagai “titik balik perubahan”. Jepang pascaperang, Korea pasca-krisis 1997, Tiongkok pasca-kemiskinan massal semuanya menemukan “energi transformasi dari reruntuhan”.
Aceh pun pernah mengalami itu. BRR NAD-Nias 2005–2009 membuktikan bahwa ketika tata kelola kuat, manajemen rekonstruksi transparan, dan koordinasi pusat-daerah-sosial serempak, pemulihan bukan hanya mengembalikan keadaan, tetapi membuka fondasi ekonomi baru.
Banjir saat ini dapat menjadi momen serupa. Tetapi hanya jika kita mengubah paradigma: dari rebuild what was lost menjadi rebuild to transform. Artinya, tidak cukup membangun kembali jembatan, jalan, rumah, atau sawah yang rusak, tetapi:
- Menata ulang ruang dan tata kota,
- Memperkuat mitigasi dan infrastruktur alam,
- Membangun ekonomi berbasis nilai tambah,
- Menata ulang rantai pasok dan logistik,
- Menumbuhkan industri berbasis keunggulan lokal,
- Meningkatkan standar layanan publik dan tata kelola anggaran.
Dana besar yang dialokasikan negara harus dipandang sebagai mesin pembangunan, bukan sekadar santunan rehabilitasi.
Mengapa Aceh Harus Rebound Sekarang?
Ada tiga alasan strategis.
Pertama, siklus bencana tak akan berhenti.
Aceh berada pada zona multi disaster, ditopang oleh bentang geografis yang rentan: gunung, patahan, aliran sungai, pesisir, dan hutan gambut. Jika kita hanya membangun untuk kembali ke kondisi semula, maka kita akan kembali rusak saat bencana berikutnya datang.
Kedua, momentum fiskal ini tak akan datang kedua kali.
Rp25,41 triliun di tahun 2026 adalah peluang. Namun peluang hilang bila tidak dikelola dengan visi transformasi. Rekonstruksi tanpa reformasi hanya mengulang kemiskinan struktural.
Ketiga, masyarakat kini berada di titik frustrasi kolektif.
Ketidakpastian ekonomi, hilangnya aset produktif (sawah, kebun, tambak, ternak), dan kerusakan fasilitas publik berpotensi memudar rasa percaya masyarakat terhadap negara. Hanya langkah cepat, tepat, transparan, dan berdampak yang mampu mereduksi potensi keresahan sosial.
Dari Rehabilitasi Fisik ke Restrukturisasi Ekonomi
Pemulihan Aceh tidak boleh berhenti pada infrastruktur. Yang harus dibangun adalah mesin ekonomi. Ada lima prioritas strategis.
1. Rehabilitasi berbasis peta risiko dan tata ruang adaptif
Banjir terbaru menunjukkan bahwa banyak permukiman didirikan di kawasan rawan. Rekonstruksi harus menempatkan penataan ruang sebagai titik awal, bukan akhir. Lima prinsipnya:
- Hindari kembali membangun di dataran banjir primer,
- Manfaatkan teknologi early warning,
- Reforestasi dan reklamasi DAS sebagai prioritas,
- Desain kawasan tahan banjir dan berlapis pertahanan alam,
- Perkuat standar bangunan “tahan bencana”.
2. Bangun ulang infrastruktur ekonomi, bukan sekadar fisik
Contoh intervensi strategis:
- Cold-chain dan logistik pangan Aceh Tengah–Bener–Lhokseumawe,
- Koridor industri pesisir Aceh Timur–Lhokseumawe–Aceh Utara,
- Agro-hub untuk bawang, kopi, cabai, cokelat, nilam,
- Pemulihan tambak berbasis biosekuriti dan teknologi,
- Pengembangan industri peternakan “hulu-hilir” (komoditi daging dan telur),
- Revitalisasi sawah dengan pertanian presisi dan digital irrigation.
Rekonstruksi tambak dan kembalikan alur tambak untuk menjadi sarana “salin air tambak” sehingga keperluan luasan alur sungai Kawasan tambak harus dikembalikan ke kebutuhan proporsional tambak.Rekonstruksi harus membuka nilai tambah, bukan bertahan di sektor primer.
3. Dana rekonstruksi sebagai katalis KPBU dan investasi
Rp25,41 triliun bukan satu-satunya sumber daya. Ia harus menjadi leverage capital untuk menarik:
- Investasi KPBU, SWF global, diaspora dan CSR industri,
- Pembiayaan syariah: CWLS, sukuk daerah, cathastrope bond (obligasi bencana),
- Koperasi dan komunitas lokal sebagai pemilik saham.
Dana publik menjadi pancingan, bukan satu-satunya mesin.
4. Teknologi dan inovasi menjadi standar baru
Pemulihan adalah kesempatan untuk loncatan teknologi—bukan sekadar digitalisasi administrasi, tetapi teknologi berbasis produktivitas:
- Sistem informasi risiko DAS,
- Drone monitoring banjir dan pertanian,
- Transparansi anggaran berbasis blockchain,
- Marketplace komoditas Aceh,
- Manajemen logistik berbasis IoT.
Bencana menghancurkan aset, tetapi juga menghancurkan kebiasaan lama. Inilah kesempatan bagi Aceh untuk mengembangkan ruang inovasi dan kreativitas.
Rebuild Aceh with Advantage
Aceh memiliki modal absolut yang jarang disebut dalam narasi bencana:
- Positioning geostrategis jalur pelayaran internasional
- Komoditas agro unggulan (kopi Gayo, bawang, cabai, kakao, nilam)
- Sumber perikanan dan kelautan yang besar
- Lahan luas dan air melimpah
- Energi potensial gas Arun dan panas bumi
- Perguruan tinggi yang siap menjadi mitra inovasi
- Diaspora luas dan jejaring komunitas global
- Modal sosial religius yang kuat
Keunggulan-keunggulan ini harus menjadi fondasi model bisnis baru pascabencana. Jangan biarkan rekonstruksi hanya mengembalikan Aceh ke “lihat panen hari ini, jual besok.” Kita harus bergerak menuju industrialisasi hulu–hilir, pusat logistik pangan, perdagangan maritim, pariwisata berbasis alam, dan energi hijau.
Jangan Lewatkan Jendela Sejarah Ini
Pascabencana, biasanya energi kolektif muncul: empati, gotong royong, kesadaran risiko, dan keinginan berubah. Akan tetapi energi itu tidak abadi. Ia surut seiring waktu dan rutinitas kembali. Maka Aceh memiliki jendela waktu sempit mungkin hanya 12–24 bulan, untuk mengunci reformasi dan transformasi sebelum jendela itu tertutup. Jika kesempatan ini berlalu, kita akan kembali membangun secara tambal sulam, dan siklus kemiskinan struktural akan berulang.
Anggaran Rp25,41 triliun bukan dana empati, melainkan amanah pembangunan. Dan amanah ini hanya bermakna bila diolah menjadi mesin pertumbuhan dan ketahanan ekonomi jangka panjang. Kita harus percaya bahwa “Bersama kesulitan pasti ada kemudahan.” Banjir hari ini mungkin menenggelamkan rumah, sawah, dan harapan jangka pendek, tetapi juga membuka jalur baru menuju kemajuan dan harapan jangka Panjang.
“Saat bencana menghancurkan struktur lama, di situlah kesempatan membangun struktur baru yang lebih kuat”. Inilah waktunya Aceh rebound, bukan sekadar pulih. Wallahu’alam.[]



















