Oleh: Tgk. Helmi Abu Bakar El-Langkawi
Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga dan Dosen IAI Al-Aziziyah Samalanga serta Ketua PC Ansor Pidie Jaya.
Perjalanan sejarah mencatat bahwa Samalanga dikenal sebagai salah satu daerah yang menjadi benteng pertahanan rakyat Aceh dalam melawan penjajah Belanda, hingga pasukan Marsose sekalipun menciptakan mars khusus untuk menyemangati pasukannya guna melawan pejuang Aceh di Samalanga. Sampai saat ini, Samalanga masih dijuluki sebagai “Kota Santri”. Hal ini membuktikan bahwa Samalanga mendapat posisi penting dalam mencerdaskan ummat dan melawan kebodohan, khususnya di Aceh. Salah satu instansi autentik dan sangat berperan dalam melawan penjajahan di Samalanga pada masa lalu, dan menjadi pilar dalam mencerdaskan generasi bangsa adalah lahirnya lembaga pendidikan (Dayah) Ma’hadul Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya (MUDI MESRA) di desa Mideun Jôk, Kemukiman Mesjid Raya, Kecamatan Samalanga, Bireuen.
Para sejarawan Aceh menyebutkan, Dayah MUDI Mesra Samalanga telah berdiri seiring dengan dibangunnya Mesjid Raya oleh Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam yang memerintah tahun 1607-1636 M pada abad ke-16. Dalam rihlah tersebut, Sultan mendirikan sebuah masjid dan masyarakat sekitar menamakan bangunan suci itu dengan sebutan “Mesjid Raya” yang berfungsi sebagai tempat ibadah sekaligus untuk tempat pengajian dan kegiatan keagamaan (Dayah atau Zawiyah). Saat itu, masjid raya yang berlokasi di desa Mideun Jôk tersebut dikelola oleh Faqeh Abdul Ghani. Hingga akhirnya kawasan tersebut dinamakan dengan Kemukiman Mesjid Raya sebagaimana kita kenal saat ini (Mudi Mesra: 2010).
Sebagai institusi agama yang menjadi lembaga sentral pendidikan kala itu, Dayah Mesjid Raya terus berkembang. Menurut penuturan masyarakat sekitar, setelah Syekh Faqeh Abdul Ghani wafat, dayah Mesjid Raya dipimpin oleh banyak ulama secara estafet sehingga semua ulama yang pernah memimpin tidak tercatat dalam literasi sejarah dayah Mesjid Raya. Hingga awal abad ke-19 dibentuklah sebuah lembaga pendidikan dayah atas prakarsa beberapa ulama dari pihak Ulée Balang, yakni Muhammad Ali Basyah yang didukung oleh para tokoh masyarakat setempat.
Pada tahun 1927 M lembaga pendidikan Islam ini dipercayakan kepemimpinannya dibawah Teungku Haji Syihabuddin bin Idris, dengan klasifikasi santri 100 orang pelajar putra dan 50 orang pelajar putri, dibantu oleh 5 orang pengajar putra dan 2 orang pengajar putri. Wafatnya Teungku Haji Syahabuddin bn Idris pada tahun 1935, tongkat kepemimpinan diteruskan oleh keluarga beliau sekaligus adik iparnya sendiri yakni Teungku Haji Hanafiah bin Abbas atau yang lebih dikenal dengan Teungku Abi. Dibawah asuhan beliau, dayah Mesjid Raya semakin meningkat dan jumlah santri semakin bertambah. Karena merasa diri masih kekurangan ilmu, Teungku Abi memutuskan berangkat ke Mekkah Al Mukarramah untuk menambah ilmu pengetahuan, dan kepemimpinan dayah diperbantukan kepada Teungku Muhammad Shaleh selama lebih kurang dua tahun.
Singkatnya, sepeninggal Teungku Abi pada tahun 1964, dayah Mesjid Raya dipimpin oleh menantu beliau, yaitu Teungku Haji Abdul Aziz bin M. Shaleh atau yang lebih dikenal dengan sebutan Abon Aziz Samalanga, atau publik Aceh mengenalnya dengan Abon Samalanga.
Biografi Abon Samalanga.
Nama lengkapnya Teungku Haji Abdul Aziz bin Muhammad Shaleh. Beliau dilahirkan pada bulan Ramadhan tahun 1351 Hijriyah/1930 Masehi di Desa Kandang, Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen (dulu masih Kabupaten Aceh Utara). Sejak kecil, beliau tumbuh dan besar di daerah Jeunieb, Bireuen. Hal ini dikarenakan ayahanda beliau kala itu menjabat Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Jeunieb. Ayahanda beliau juga salah seorang pendiri Dayah Darul ‘Atiq Jeunieb, sehingga kehidupan Abon Samalanga sangat akrab dengan dunia pendidikan Islam (dayah) dibawah asuhan orangtua beliau sendiri.
Pada tahun 1944, Abon Samalangan menyelesaikan pendidikan tingkat Sekoral Rakyat (SR), dengan menimba ilmu pengetahuan dari ayahandanya selama dua tahun hingga akhirnya pada tahun 1946 beliau pindah belajar ke Dayah MUDI Mesjid Raya, Samalanga dibawah asuhan Tgk. H. Hanafiah bin Abbas (Teungku Abi) selama lebih kurang dua tahun. Tahun 1948, beliau melanjutkan pendidikannya ke salah satu dayah di Matangkuli, Aceh Utara dibawah kepemimpinan Teungku Ben atau akrab dikenal dengan Teungku Tanjôngan. Di Matangkuli, beliau belajar pada Teungku Idris Tanjôngan hingga tahun 1949, hingga akhirnya beliau kembali lagi ke dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga, dan mengabdikan diri sebagai tenaga pengajar.
Saat usia beliau sudah matang, Abon Samalanga menikahi seorang puteri Mideun Jôk yang juga anak guru beliau sendiri sekaligus anak pimpinan Lembaga Pendidikan Islam Dayah Ma’hadal Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya (MUDI Mesra). Dari pernikahan ini, beliau dikaruniai 4 buah hati, satu laki-laki dan tiga perempuan yaitu Almarhum Hajjah Suaibah, Hajjah Shalihah , Almarhum Tgk H Thaillah dan Hajjah Masyitah.
Pada tahun 1951 Abon melanjutkan pendidikan ke Dayah Darussalam Labuhan Haji Kabupaten Aceh Selatan dibawah pimpinan Abuya Syeikh Muhammad Wali Al-Khalidi (Abuya Mudawali). Di Dayah Darussalam Labuhan Haji, beliau belajar lebih kurang selama tujuh tahun. Selama belajar, beliau dikenal sangat rajin dan tekun serta memiliki takzim dan khidmat yang tinggi terhadap gurunya; Abuya Mudawali. Disamping itu, saat belajar Abon Aziz Samalanga juga membuka segala kitab yang berkenan dengan mata pelajaran yang beliau pelajari, hingga kamar beliau berserakan dengan tumpukan kitab segala bidang ilmu. Hal ini, sebagaimana diceritakan oleh Tgk. Muhammad Amin Tanjôngan (Abon Tanjôngan) yang juga murid Abon Aziz di Labuhan Haji. Setelah mendapat izin dari Abuya Mudawali, pada tahun 1958 Abon Aziz kembali ked ayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga untuk mengembangkan ilmunya. Hingga setelah wafatnya Teungku Abi, beliau dipercayakan memimpin Dayah tersebut.
Perkembangan Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga.
Sejak tahun 1964, dibawah kepemimpinan Abon Aziz Dayah MUDI Mesra mengalami banyak perubahan. Terutama dalam bidang kurikulum pendidikan yang semula tidak fokus pada ilmu-ilmu alat (Ilmu Bantu) seperti; Manthiq, Ushul Fiqh, Bayan, Ma’ani, dan lain sebagainya. Keahlian Abon Aziz yang dikenal dengan gelar Al Manthiqi merupakan sosok yang sangat disiplin dan memiliki semangat mengajar yang luar biasa, bahkan dalam kondisi sakit sekalipun beliau selalu atunsias untuk mengajar murid-muridnya.
Maka tidak heran, dalam setiap nasehatnya beliau selalu menekankan satu hal; Béut dan Seumeubéut (Belajar dan Mengajar), dalam kondisi apapun dan dimanapun. Jika tidak mampu seumeubéut (mengajar) maka jangan pernah bosan untuk béut (belajar) sekalipun sudah menjadi pimpinan pengajian dalam komunitas masyarakat. Nasehat “Béut-Seumeuéut” menja