SAGOETV | BANDA ACEH – Sekitar seratus tokoh, pengamat, akademisi, dan aktivis pendidikan dari berbagai kampus dan disiplin ilmu menghadiri Forum Group Discussion (FGD) yang digelar oleh Forum Komunikasi Doktor Aceh (FKDA), Selasa (11/2/2025), di Aula Pustaka Wilayah Banda Aceh.
FGD perdana ini mengangkat tema Membedah Visi-Misi Mualem-Dek Fadh dalam Bidang Pendidikan. Acara tersebut turut dihadiri Kepala Dinas Kepustakaan dan Kearsipan Aceh, Dr. Edi Yandra, MSP.
Tiga narasumber utama dalam diskusi ini adalah Prof. Dr. Tgk H. Saifullah Idris, MA, Guru Besar Filsafat Pendidikan UIN Ar-Raniry Banda Aceh; Dr. Mohd. Ilyas, MM, mantan Kepala Dinas Pendidikan Aceh; dan Dr. Tgk. H. Abdul Syukur, M.Ag dari Kementerian Agama Aceh.
Dalam pemaparannya, Prof. Saifullah menekankan pentingnya pembinaan dan penguatan pendidikan dayah. Menurutnya, dayah tidak hanya melahirkan individu berilmu, tetapi juga membentuk generasi yang memiliki akhlak mulia.
“Alumni dayah memiliki akhlak yang terjaga serta pemahaman agama yang mendalam. Oleh karena itu, dayah perlu terus diperhatikan agar tetap eksis dalam mencetak generasi berkarakter Islami,” ujar alumni Dayah Sabang Lamno ini.
Sementara itu, Dr. Ilyas menyoroti pentingnya pendidikan berbasis kearifan lokal (local wisdom) di Aceh. Ia berharap di bawah pemerintahan Mualem-Dek Fadh nantinya, mata pelajaran sejarah Aceh dapat diajarkan secara komprehensif di semua jenjang pendidikan.
“Pendidikan berbasis kearifan lokal, terutama sejarah Aceh, harus masuk dalam kurikulum sekolah hingga perguruan tinggi. Dengan demikian, generasi Aceh ke depan akan lebih mencintai daerahnya dan memiliki kebanggaan terhadap tanah airnya,” ungkap dosen Pascasarjana UNIKI Bireuen ini.
Narasumber terakhir, Dr. Abdul Syukur, mengingatkan pentingnya memahami perbedaan antara pendidikan salafi dan pendidikan salafiyah.
“Jangan sampai kita menyamakan pendidikan salafi dengan salafiyah. Pemahaman yang tepat akan membantu dalam merancang kebijakan pendidikan keagamaan yang lebih baik di Aceh,” jelasnya.
Ketua FKDA, Dr. Yusuf Al-Qardhawy, MH., CPM, dalam sambutannya menjelaskan bahwa FGD ini bertujuan melahirkan gagasan cemerlang bagi pengembangan pendidikan di Aceh ke depan.
“Tujuan utama FGD ini adalah merumuskan ide dan konsep terbaik dari para pakar pendidikan untuk membangun peradaban Aceh yang lebih maju di bawah kepemimpinan Mualem-Dek Fadh,” ujarnya.
Dr. Yusuf menambahkan bahwa pendidikan merupakan kunci utama dalam membangun suatu bangsa dan mengubah nasib masyarakat agar lebih baik.
“Ayat pertama yang turun dalam Al-Qur’an adalah Iqra’, yang berarti membaca dan memahami fenomena. Artinya, bangsa Aceh harus menjadi bangsa yang cerdas dan peduli terhadap pendidikan,” pungkasnya.
Peserta FGD, yang datang dari berbagai daerah termasuk Bireuen dan Aceh Utara, tampak antusias dalam memberikan masukan dan tanggapan selama diskusi yang dimoderatori oleh Rifky, Ketua Ikatan Pemuda Aceh Utara (IPAU) Banda Aceh.
Visi Misi Aceh di Bawah Mualem-Dek Fadh
Dalam kesempatan tersebut, dipaparkan visi-misi Mualem-Dek Fadh untuk Aceh ke depan, yakni Aceh Islami, Maju, Bermartabat, dan Berkelanjutan. Adapun misi yang diusung mencakup:
- Menjalankan Syariat Islam secara kaffah dalam kehidupan masyarakat.
- Mewujudkan kekhususan dan keistimewaan Aceh sesuai MoU Helsinki dan UUPA.
- Mendorong kemandirian ekonomi Aceh berbasis sektor unggulan.
- Meningkatkan infrastruktur dasar dan konektivitas antarwilayah.
- Meningkatkan kualitas dan daya saing sumber daya manusia.
- Mengoptimalkan tata kelola pemerintahan serta menjaga stabilitas politik dan hukum.
- Memelihara kelestarian lingkungan hidup dan ekosistemnya.
Dalam sesi pemaparan terkait evaluasi pendidikan 2017-2024, beberapa poin utama yang menjadi perhatian adalah pengembangan kurikulum, penyediaan kitab/buku referensi, peningkatan sarana prasarana dayah, serta pemberdayaan santri melalui program keterampilan dan beasiswa.
Transformasi pendidikan dayah menjadi salah satu fokus utama dalam mendukung kemandirian dan daya saing santri di era digital. Upaya tersebut mencakup integrasi teknologi dalam pengajaran kitab kuning, pembelajaran berbasis diskusi dan pemikiran kritis, serta penguatan kompetensi digital melalui literasi teknologi, pengenalan coding, dan pemanfaatan media sosial secara positif.
Selain itu, upaya pengembangan ekonomi dan kewirausahaan santri juga menjadi perhatian melalui pembentukan koperasi santri, agribisnis, serta kemitraan dengan UMKM dan perusahaan lokal.
Tantangan dan Peluang
Tantangan utama dalam pendidikan Aceh ke depan mencakup:
- Menjaga akhlak santri di tengah derasnya arus digitalisasi.
- Membangun kolaborasi antar-dayah dalam berbagi sumber daya dan metode pembelajaran.
- Menciptakan ekosistem inovatif berbasis nilai-nilai Islam.
- Mempersiapkan santri agar mampu bersaing secara global.
Dengan adanya berbagai program strategis ini, diharapkan pendidikan Aceh, khususnya di sektor dayah, dapat terus berkembang dan beradaptasi dengan tuntutan zaman tanpa kehilangan nilai-nilai keislaman yang menjadi fondasi utama. [NST]