Oleh: Resi Waras
Pengajar Filsafat di Komunitas Studi Agama dan Filsafat- KSAF.
Salah satu persoalan yang mencengkram banyak pemikir dunia adalah “bahasa dan cara membaca teks”. Perlu dipahami bersama, membaca teks tidak sama dengan mengenali huruf-huruf alphabet, seperti “ini Budi” dan “ini Bapak Budi”.
Membaca teks merupakan cara bagaimana mental manusia dapat memahami makna dan relasi antar teks, baik relasi intra-teks atau pun relasi intra teks dengan realitas. Maka, dari sini dapat dimengerti bahwa “cara membaca teks” merupakan salah satu aliran penting dalam epistemologi (teori pengetahuan).
Dalam coret-coretan sederhana ini, secara sengaja dibedakan antara “bahasa” dengan “Cara membaca teks” agar tidak terjadi tumpang-tindih yang tidak beraturan.
Bahasa adalah media transformasi antara yang tersembunyi hingga menjadi nyata. Dalam persoalan bahasa, hal terpenting adalah menghubungkan mental dengan ekternal atau pun realitas. Proses penghubungan ini, yang kemudian hari, menelurkan beberapa disiplin pengetahuan, seperti semantik (fokus pada makna), semiotik (fokus pada tanda), gramatik (fokus pada tatabahasa) dan sejenisnya.
Ada pun “cara membaca” juga melahirkan beberapa disiplin pengetahuan, seperti hermeneutik, tafsir, ushulfiqih dan sejenisnya.
Tulisan ini tidak sedang ingin mengupas satu persatu disiplin pengetahuan beragam di atas, melainkan ingin mendudukkan persoalan hubungan antara “bahasa” dengan “cara membaca teks”.
Mengabaikan salah satu dari kedua bagian di atas, “bahasa” dan “cara membaca teks”, akan menimbulkan banyak persoalan dalam interpretasi atau pun tafsir terhadap sesuatu teks.
Sebagaimana yang telah disebut di atas bahwa “cara membaca teks” merupakan salah satu aliran dalam epistemologi. Karena, “cara membaca teks” akan sangat berdampak pada bangunan pengetahuan dalam mental pembaca.
Dari sisi lain, mental seseorang juga sangat dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuan yang dimilikinya. Dengan artian, “cara membaca teks” terkait erat dengan disiplin pengetahuan yang dimiliki oleh “pembaca”, semisal dalam luas dan sempitnya pengetahuan yang dimilikinya, penalaran serta sudut pandangnya dalam “cara membaca teks”.
Peletakan Bahasa
Salah satu persoalan penting dalam bahasa adalah peletakan dan asal-usul kemunculan bahasa.
Banyak teori dipaparkan untuk menjelaskan persoalan tersebut. Salah satu teori terkuat yang dikemukakan adalah “keseiringan-erat” antara kata dengan makna.
Kata adalah sekumpulan huruf yang tersusun, seperti G-E-L-A-S, baik secara tertulis atau pun terucap-berbunyi. Sedangkan makna adalah realiatas, baik materi-fisikal atau pun immateri, seperti bentuk realiatas wadah untuk minum, gelas secara eksternal materi-fisikal.
Teori “keseiringan-erat” mengetengahkan bangunan hubungan antara kata dengan makna secara erat, sehingga tercipta spontanitas mental seseorang pada makna dengan mendengar atau pun membaca kata.
Teks Agama
Teks suci adalah sekumpulan berita yang bersifat transendental ataupun ilahiah yang tertuang dalam kata (baca: bahasa). Penggunaan bahasa pada teks suci juga melewati fase “keseiringan-erat” yang berlaku pada masyarakat pengguna bahasa teks suci.
Dengan artian, penggunaan bahasa teks suci sebagai media penyampaian muatan-muatannya juga sama digunakan oleh masyarakat yang memperoleh teks suci tersebut secara langsung, seperti bahasa Ibrani, Arab dan lain-lainnya, agar dapat dipahami serta dimengerti.
Di sisi lain, terkadang, teks suci juga memakai sebuah kata yang sudah populer pada masyarakat tertentu penggunaan serta pemaknaannya, akan tetapi menginginkan makna lain dan baru sama sekali.
Pada situasi ini pun, teks suci juga melewati fase “keseiringan-erat” yang baru, agar penggunaan kata tersebut memperoleh spontanitas dalam mental audiens secara anyar.
Semisal, pemakaian kata “shalat” yang pada makna awalnya adalah “doa”. Makna anyarnya –dengan melewati fase “keseiringan-erat” yang baru– adalah suatu aktivitas ibadah, berawal dari “takbiratul-ihram” dan berakhir dengan “salam”.
Alih Bahasa
Dengan premis-premis dasar di atas, bisa dipahami bahwa alih bahasa teks suci kepada bahasa lain merupakan suatu persoalan yang tidak mudah, rumit. Karena, pengalihbahasaan selain memahami bahasa asli teks suci juga dituntut memiliki pengetahuan mumpuni dalam seluk-beluk bahasa teks suci, termasuk persoalan “keseiringan-erat” dengan fase-fasenya.
Mazhab Nekat
Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat segelintir orang yang berupaya membaca teks dengan cara “bonek” (bodoh nekat). Dan fenomena tersebut, ada pada setiap agama, aliran dan masyarakat.
Mungkin saja, fenomena tersebut muncul dari semangat keberagamaan yang tinggi, namun apa daya tangan tak sampai. Dengan artian, semangat tinggi dan tidak didukung oleh kemampuan yang sesuai.
Kembali pada contoh di atas, kata dan makna “shalat”. Mungkin saja, seseorang masih ‘terpesona’ menggunakan kata tersebut dengan makna awal (baca: doa) sambil mengabaikan “keseiringan-erat” yang anyar. Akibatnya, dia akan menegasikan perintah “shalat” dengan makna dari “keseiringan-erat” yang anyar.
Contoh lainnya, kata “yakin” dengan makna dari “keseiringan-erat” pertama adalah yang tidak terdapat keraguan, tetap dan pasti. Namun, dalam ‘perjalanannya’, kata “yakin” mengalami fase “keseiringan-erat” baru dengan makna “mati / kematian” (mu’jam al-Gani). Seperti dalam Surah Al-Hijir, ayat 99, berbunyi: “Dan sembahkah Tuhanmu sampai yakin (ajal) datang padamu”.
Mungkin, bagi segelintir orang masih ‘bernostalgia’ dengan makna dari “keseiringan-erat” pertama, yaitu “yang tidak terdapat keraguan, tetap dan pasti”. Dan akhirnya, mengabaikan “keseiringan-erat” yang baru, kemudian berhalusinasi bahwa dirinya telah sampai tahapan “yakin”, maka tidak lagi perlu atau pun wajib melaksanakan ibadah, contohnya shalat.
Dari coret-coretan di atas, bisa dipahami bahwa “bonek” dalam membaca teks suci merupakan satu “kebodohan akumulatif”.[]